Pasangan Bukan Suami Istri Ini Diduga Lakukan Aborsi Dengan Minum Obat Pengugur Kandungan
OKI, SRINE.Com--Sepandai-pandainya- menyimpan bangkai, akhirnya akan tercium juga. Pepatah tersebut sepertinya berlaku terhadap pasangan yang bukan suami isteri, berinisial Er (21), warga Dusun V Talang Waras, RT 03, Desa Suka Pulih, Kecamatan Pedamaran, dan Fhan, salah seorang anak pemilik rumah makan di Desa Suka Pulih, Kecamatan Pedamaran.Dimana, Er diduga melakukan praktik aborsi, dengan menggugurkan janin berusia sekitar 5-6 bulan dalam kandungannya, atas restu dari Fhan. Soalnya, Fhan sendiri selama ini diketahui telah memiliki isteri dan anak. Sedangkan Er sendiri diketahui merupakan karyawan rumah makan milik orang tua Fhan.
Mirisnya, dugaan praktik aborsi yang dilakukan sejoli yang sudah merajut asmara selama tiga tahun ini, diduga dilindungi sang kades Suka Pulih berinisial Lu. Bahkan, beberapa perangkat desa, termasuk tokoh masyarakat setempat, juga diduga menutupi aib desa tersebut.
‘’Diduga Er itu melakukan aborsi sekitar bulan September 2018 lalu. Dirinya melakukan aborsi diduga atas restu dari sang pacar gelap berinisial Fhan. Melakukan diduga mengeluarkan paksa janin di kandungan Er, setelah meminum obat yang dibeli di salah satu apotek di Palembang,” jelas seorang sumber yang mewanti-wanti tidak disebutkan namanya ini.
Menurut sumber berjenis kelamin laki-laki itu, setelah Er diduga mengeluarkan paksa janinnya, lantas bulan November 2018 lalu, antara kedua belah pihak melakukan perdamaian yang diketahui Kades Suka Pulih berinisial Lu, Kadus V Desa Suka Pulih berinisial Wid, dan seorang tokoh masyarakat setempat.
‘’Kami tidak tahu kenapa sang kades serta tokoh masyarakat diduga memaksa melakukan perdamaian itu. Padahal secara hukum, praktik aborsi itu sangat tidak dibenarkan. Bahkan, ada ancaman pidananya dari dugaan praktik aborsi tersebut,” jelas sumber ini lagi.
Setelah wartawan melakukan investigasi di lapangan, menemukan dugaan oknum kades berupaya melindungi dugaan praktik aborsi itu semakin menguat. Dimana, wartawan begitu susah mendapat informasi, baik dari perangkat desa, maupun dari keluarga Er sendiri.
Bahkan, Ketua RT 03 Desa Suka Pulih bernama Munkar, ketika ditemui wartawan di kediaman Er, juga berusaha menutupi kejadian sekitar tiga bulan lau itu. ‘’Kata Kades (Lu,red) tadi, gak usah ngomong apa-apa sama wartawan, mingkem (tutup mulut,red) aja. Suruh saja temui Abah ….. (menyebut nama tokoh masyarakat, sekaligus pemilik Ponpes di desa tersebut,” terang Munkar menirukan ucapan Kades Lu.
Meskipun sempat tidak mau bicara terkait kasus tersebut, namun akhirnya Munkar mau juga buka mulut, meskipun hanya sedikit yang diakuinya.
‘’Saya awalnya memang tidak tahu juga. Awal tahunya, setelah di datangi empat warga desa. Kemudian, saya panggil La (Bapak Er,red) ke rumah. Di situlah kami bicarakan hal itu. Namun hanya sedikit yang saya tahu tentang kejadian itu,” tutur Munkar.
Terakhir, Munkar mengatakan kalau dirinya tak terlibat dalam hal ini. ‘’Kalau mau tahu lebih jelasnya, silakan temui saya Abah …….. karena pihak keluarga juga sudah menyerahkan kuasa masalah ini kepada Abah,” tambah Munkar.
Sedangkan La, ayah Er, ketika ditemui wartawan di rumahnya, mengaku awalnya tak tahu kejadian yang dialami anaknya itu.
’Anak saya (Er,red) ini memang kerja di rumah makan milik orang tua Fhan. Saya tahu setelah didatangi dua hansip dan dua warga, untuk bertemu di rumah RT Pak Munkar,” tutur La.
Kemudian, sambung La, dirinya sempat mau menemui Fhan, dan melaporkan kejadian itu ke polisi, karena tak terima anaknya dibuat begitu oleh Fhan. ‘’Namun akhirnya saya gak jadi melapor, karena langsung diajak ke Ponpes Abah itu,” sambung La dengan raut muka sedih ini.
Lantas atas pertimbangan apa dirinya mau saja dibuat surat perdamaian yang intinya tidak akan menuntut Fhan? La mengaku tidak ada pertimbangan lain. ‘’Ya, saya diajak ke Ponpes, kemudian disuruh tandatangani surat perdamaian itu. Namun, setelah saya baca lagi, rasanya ada yang salah dari surat perdamaian ini,” terang La.
Menurut data yang dihimpun dilapangan, dugaan aborsi itu dilakukan setelah Er mengonsumsi sejumlah obat-obatan pengugur kandungan, yang dibeli secara online di salah satu apotek di Palembang. Obat itu diduga berbentuk kapsul, dengan harga perkapsul antara Rp 150-200 ribu.
Untuk menggugurkan paksa kandungannya atau dugaan aborsi itu, Er diduga hanya minum empat butir obat itu saja. Sedangkan Fhan, diduga meminta kepada Er yang juga karyawan rumah makannya, untuk menggugurkan janin yang diperkirakan sudah memasuki usia 5 bulan lebih tersebut.
Keterbatasannya sebagai warga biasa, ditambah lagi dugaan minimnya pengetahuan dimilki Er dan keluarganya, terlebih diduga sikap oknum kades yang juga diduga turut mendampingi Fhan dalam masalah ini, membuat Er hanya bisa pasrah, hingga diduga melakukan praktik aborsi tersebut.
Setelah ritual pengguguran kandungan ini sendiri, terbitlah semacam surat pernyataan damai. Surat itu sendiri ditandatangani Er dan bapaknya La, Abah, Kades Lu, Kadus V Wid, dan Sab selaku bapak dari Fhan. Bahkan, La menandatangani surat di atas materai Rp 6.000. kemudian, Kades Lu tidak memakai cap desa dalam surat itu.
Di sisi lain, meski keluarga Er mengaku tidak dipaksa dalam memberikan pernyataan damai, namun kejanggalan isi pernyataan menjadi pertanyaan besar. Dalam pernyataan yang bisa disimpulkan, keluarga Er tidak akan menuntut dikemudian hari atas aborsi ini. Janggalnya, tidak secuilpun tanda tangan Fhan sebagai pelaku yang terlibat langsung dari pembunuhan keji ini.
Sedangkan Kades Lu sendiri, ketika dihubungi melalui beberapa nomor ponselnya, selalu dalam keadaan tidak aktif. Bahkan, ada nomor ponsel yang didapat, ternyata Hp dipegang isterinya. Dan isteri sang kades yang mengatakan kalau pesan konfirmasi itu akan disampaikan kepada sang kades Lu. ‘’Ini nomor, Hp nya dipegang anaknya. Nanti kami sampaikan kepada bapak,” tutur isteri Kades Lu kepada wartawan.
Sementara itu, Kapolres OKI AKBP Donni Eka Syahputra SIk SH MM, melalui Kasatreskrim AKP Agus Prihadinika SIk, didampingi Kasubag Humas Ipda Suhendri SH, ketika dikonfirmasi wartawan, mengaku belum mendapat informasi terkait dugaan aborsi yang dilakukan Er.
Bahkan, Agus sempat terkejut ketika diberikan informasi telah terjadi proses damai atas kesengajaan menghilangkan nyawa seseorang itu. “Lho, Kok ada damai ya?. Tetapi kami akan koordinasi terlebih dulu dengan anggota. Untuk lebih jelasnya, nanti biar anggota yang menghubungi kembali,” ujar Agus.
Untuk diketahui, hukum negara sangat melarang dugaan praktik aborsi di Indonesia. Itu tertera dalam pasal 75 ayat 1 UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dimana, pelaku pelaku aborsi illegal terancam pidana. Jadi, praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana disebut di atas merupakan aborsi illegal.
Sanksi pidana bagi pelaku aborsi illegal diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi; “setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar,” pungkasnya.
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten OKI Tsabit Ali Haq mengatakan seandainya memang benar adanya keterlibatan pemuka agama yang juga pengasuh ponpes dalam perbuatan aborsi ini, secara kelembagaan, untuk mengungkapkan aib ini merupakan wewenang tersendiri. Dirinya meyakini, ada alasan yang tepat dari pihak yang menahan diri agar tidak terpublikasikan kemudian keputusan yang diambil sudah melalui berbagai pertimbangan,
“Sama seperti sejumlah lembaga lainnya, ada hal tertentu yang hanya diketahui oleh kalangan internalnya saja,” jelasnya.
Dalam sudut pandang agama dari kasus aborsi ini sendiri, Pembina Karateka aktif ini dengan tegas mengatakan, tidak ada alasan pembenaran apapun dalam praktik aborsi ini.
“Dalam etika agama, aborsi ini merupakan perbuatan dosa. Apapun bentuk aborsi itu dosa. terkecuali dalam keadaan tertentu, dan sedang ditangani paramedis,” jelasnya
Secara etika kemasyarakatan, Tsabit mengemukakan, seharusnya kejadian ini diberitahukan ke pihak yang berwajib, meskipun nantinya ada persetujuan damai, dan persoalan hukum lainnya.
“Secara moral kemasyarakatan ada sanksi sosial. Secara agama perbuatannya dosa, dan secara hukum juga ada sanksi pidananya,” urainya.
Posting Komentar